Chairil Anwar, Indonesia's modern literature forefather.

Kumpulan puisi Chairil Anwar, Pelopor angkatan'45, bapak sastra modern Indonesia.

W.S Rendra - Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : kami ada maksud baik
dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
lantas maksud baik saudara untuk siapa ?
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu-ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak-cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
dan esok hari
matahari akan terbit kembali pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

~ W.S Rendra ~
( Jakarta, 1 Desember 1977)

W.S Rendra - Lagu Serdadu

Kami masuk serdadu dan dapat senapang ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang Yoho, darah kami campur arak! Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali Wahai, tanah yang baik untuk mati Dan kalau ku telentang dengan pelor timah cukilah ia bagi puteraku di rumah W.S Rendra Siasat No. 630, th. 13 Nopember 1959

W.S Rendra - Sajak Bulan Purnama

Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan
kota Jakarta.

Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam yang permai
anugerah bagi sopir taksi.
Pertanda nasib baik
bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya yang kemilau
membuat tuannya gemetaran.

Kemari, kamu ! kata tuannya
Tidak, tuan, aku takut nyonya !
Karena sudah penasaran,
oleh cahaya rembulan,
maka tuannya bertindak masuk dapur
dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun
menjadi mimpi yang gemilang.
Menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya,
dengan rok satin putih,
dan parfum yang tajam baunya.
Ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan pada tamu negara
yang haus akan hiburan.

W.S Rendra
Yogya, 22 Oktober 1976
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Lagu Seorang Gerilya

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

W.S Rendra
Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Sajak Peperangan Abimanyu

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- dari zaman ke zaman

W.S Rendra
Jakarta, 2 September 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Sajak Gadis Dan Majikan

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya..

Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya

Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku akan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

W.S Rendra
Yogya, 10 Juli 1975
Potret Pembangunan dalam Puisi</div>

W.S Rendra - Kelelawar

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.

Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

~ W.S. Rendra ~

W.S Rendra - Sajak Burung-Burung Kondor

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

W.S Rendra
Yogya, 1973
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Sajak Kenalan Lama

Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.

Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.

Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu�
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku�..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu�..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.

Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.

Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.

Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan�
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.

Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.

Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja�..
meninggi�. Ke awan�
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.

Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.

telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.

Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

W.S Rendra
Yogyakarta, 21 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Aku Tulis Pamplet Ini

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

-W.S Rendra-
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Rajawali

Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

~ W.S Rendra ~
Kumpulan Puisi Perjalanan Bu Aminah, Yayasan Obor Indonesia. 1997

W.S Rendra - Pamflet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

~ W.S. Rendra ~
(Koleksi Puisi Willibordus Surendra)

W.S Rendra - Tahanan

Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali

Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah

Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)

Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya

Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !

Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.

Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama

W.S Rendra
Kisah
Th VI, No 11
Nopember 1956

W.S Rendra - Nota Bele : Aku Kangen

Lunglai ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

W.S Rendra
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

W.S Rendra - Sajak Anak Muda

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?

inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara

Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

W.S Rendra
Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Nina Bobok Bagi Pengantin

Awan bergoyang, pohonan bergoyang
 antara pohonan bergoyang malaikat membayang
 dari jauh bunyi merdu loceng loyang

Sepi, syahdu, rindu
candu rindu, ghairah kelabu
rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku

Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung
antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung
dalam hawa bergulung mantera dan tenung

Mimpi remaja, bulan kenangan
duka cinta, duka berkilauan
rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku

Bumi berangkat tidur
duka berangkat hancur
aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu

Sepi dan tidur, tidur dan sepi
sepi tanpa mati, tidur tanpa mati
rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku.

~ W.S Rendra ~
Dipetik dari 4 Kumpulan Sajak

Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Notes :
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR

Bahwa Kita Ditatang Seratus Dewa

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.

~ W.S Rendra ~
1972

Bunga

BUNGA, 1


(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku
ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi,
dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua
itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm
dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ....

Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para
manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
 

BUNGA, 2

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
 

BUNGA, 3

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat
ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di
empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku?"
 


Perahu Kertas,Kumpulan Sajak, 1982.
Sapardi Djoko Damono

Pada Suatu Hari Nanti


Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi…
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri…
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi…
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati…
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi…
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari…

~*Sapardi Djoko Damono*~

Bunga-Bunga di Halaman

mawar dan bunga rumput
di halaman: gadis yang kecil
(dunia kecil, jari begitu
kecil) menudingnya…
mengapakah perempuan suka menangis
bagai kelopak mawar; sedang
rumput liar semakin hijau suaranya
di bawah sepatu-sepatu…
mengapakah pelupuk mawar selalu
berkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembut
hampir mencapainya (wahai, meriap rumput di tubuh kita)…

[1968]
Sapardi Djoko Damono

Percakapan Malam Hujan

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan,
“Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah;
asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur.
Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”

[Hujan Bulan Juni, 1973] 
Sapardi Djoko Damono

Biografi Sapardi Djoko Damono

BIOGRAFI

Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang dikenal lewat berbagai puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.


Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah abdi dalem di Keraton Kasunanan, mengikuti jejak kakeknya. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Hal itu menyebabkan orang tuanya memberinya nama Sapardi. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan.

Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Dari kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak hanya menulis puisi, namun juga cerita pendek. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit menguasai permainan wayang, karena kakeknya selain menjadi abdi dalem juga bekerja sebagai dalang.

Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar serta menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam. Namun kini ia telah pensiun. 

Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebu

PENDIDIKAN


  • Sekolah Dasar Kasatrian
  • SMP II Mangkunagaran
  • SMA II di Margoyudan
  • Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM

KARIR

  • Guru Besar Ilmu Sastra
  • Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
  • Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
  • Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
  • Pendiri Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI)
  • Dosen Universitas Diponegoro
  • Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia
  • Dosen tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
  • Anggota Dewan Kesenian Jakarta
  • Pelaksana harian Pusat Dokumentasi HB Jassin
  • Anggota redaksi majalah kebudayaan Basis
  • Country editor untuk majalah Tenggara
  • Koresponden untuk Indonesian Circle
  • Pendiri Yayasan Puisi dan menerbitkan Jurnal Puisi

PENGHARGAAN


  • Cultural Award dari Australia (1978)
  • Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)
  • SEA Write Award dari Thailand (1986)
  • Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1990)
  • Mataram Award (1985)
  • Kalyana Kretya (1996) dari Menristek RI
  • Penghargaan Achmad Bakrie (2003)

Di Atas Batu

 ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali…
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari…
ia pandang sekeliling :
matahari yang hilang – timbul di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung
— ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,

(1982)
Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


(1989)

Sapardi Djoko Damono

Karya-Karya Tentang Chairil Anwar

Bagi Anda yang sedang mencari referensi karya-karya tentang Chairil Anwar atau sekedar ingin tahu lebih dalam tentang Chairil, Anda bisa mencari beberapa karya dibawah ini:
  1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953);
  2. Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);
  3. Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974);
  4. S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976);
  5. Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
  6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976;
  7. H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983);
  8. Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
  9. Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985);
  10. Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
  11. Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995);
  12. Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

Kepada Sekaki Payung

(Berita Harian 23 Februari 2014)

Sekaki payung, penghuni setia keretaku
berpindah menginap halaman rumahmu
pada satu sore sesudah hujan sedikit ramah
ditinggalkan oleh ingatanku yang pelupa.
 
Aku membayangkan dia memerhatikan
kau keluar masuk ke rumah tanpa
menyedari ada sekaki payung asing
sedang menggigil merindukan tuannya.
 
Mungkin payung itu senang diam di sana
melebarkan tubuh kurusnya dengan luas kenangan
membiasakan keasingan menerima dunia
halaman rumah dan kejauhan tuan barunya.
 
Dalam kereta menunggu hujan berehat,
Aku merindui sekaki payung sekaligus
masa-masa lalu, saling melindungi jua
menemani kesunyian musim hujan.
Ainunl Muaiyanah Sulaiman



W.S Rendra - Sajak Ibunda

Dengan latar belakang gubug-gubug karton,
aku terkenang akan wajahmu.
Di atas debu kemiskinan,
aku berdiri menghadapmu.
Usaplah wajahku, Widuri.
Mimpi remajaku gugur
di atas padang pengangguran.
Ciliwung keruh,
wajah-wajah nelayan keruh,
lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
Kemiskinan dan kelaparan,
membangkitkan keangkuhanku.
Wajah indah dan rambutmu
menjadi pelangi di cakrawalaku.

W.S Rendra
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Hujan Yang Mencintai Sebuah Pohon

Ainunl Muaiyanah Sulaiman

(Berita Harian 30 Oktober 2011)
 
Hujan telah jatuh cinta pada sebuah pohon
ditengah-tengah kampung papan.

Hujan selalu mengintai pohon penuh pesona
Kanak-kanak berayun buaian di lengan dahannya
Perawan menanam bunga-bunga dikakinya banirnya
Orang tua meminjam dadanya untuk bersandar
Penduduk kampung gemar menghiburkan diri,
bercanda di bawah kekasihnya.

Setiap malam, hujan akan membasahi kekasihnya
menyuburkan tanah dan meneriakkan bunga-bunga.
Daun pohon dengan malu-malu akan mendakap hujan
Menanda terima kasih dan cinta.

Lama mereka berkasihan dengan sederhana
Sehingga suatu hari hujan berpergian sebentar
Apabila pulang, kekasihnya tiada
Kampung papan telah menghilang

Hujan berterusan menangis
Membasah bekas kawasan
kampung papan dan kekasihnya
yang mengabur entah ke mana.

W.S Rendra - Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna

Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan

Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya

Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi  jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan
Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.


W.S. RENDRA