Chairil Anwar dalam Sejarah Sastra Indonesia
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”. merupakan
potongan sajak Aku Chairil Anwar yang melegenda. Tidak hanya sajak Aku yang terkenal, masih
banyak karya penyair kelahiran medan 26 juli 1922 yang masih terkenang hingga
saat ini, seperti “Doa”, ‘’Sebuah Kamar”, “Diponegoro”, “Krawang Bekasi”,
“Selamat Tinggal”, “Penerimaan”, “Derai-derai Cemara”, “Pada Peminta-minta” dan
masih banyak lagi karya yang terkenal hingga sekarang.
Sajak-sajak
Chairil Anwar tidak pernah lepas dari kajian sejarah sastra Indonesia khususnya
pada periode angkatan 45. Jenis sastra puisi memang lebih berkembang daripada
sastra prosa pada angkatan 45, Chairil Anwar termasuk penyair yang diagungkan
pada masa ini dan banyak pendapat bahwa sajak-sajak Chairil menyumbangkan
perubahan dalam kesusastraan Indonesia. Pradopo mengatakan sajak-sajak Chairil
mengakhiri zaman syair dan pantun yang tradisinya masih diteruskan oleh
Pujangga Baru meskipun dengan jiwa kebangsaan yang baru.
Saat ini,
sudah banyak kritik dan tanggapan terhadap Chairil Anwar dan karyanya dalam
bentuk buku maupun esai. Menurut Teeuw lebih banyak yang ditulis tentang
Chairil Anwar daripada tentang pengarang Indonesia lainnya. Ini membuktikan
Chairil Anwar dan karyanya masih hidup hingga saat ini.
Chairil
Anwar merupakan anak tunggal dari pasangan Toelos, mantan bupati Kabupaten
Indragiri Riau dan Saleha. Pada umur sembilan belas tahun, kedua orang Chairil
Anwar bercerai, ayahnya menikah lagi. Setelah peristiwa itu, Chairil Anwar
mengikuti ibunya pergi ke Jakarta. Riwayat pendidikan Chairil dimulai dari sekolah Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda.
Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), tetapi saat
kelas dua, beliau terpaksa berhenti oleh pendudukan Jepang.
Chairil mulai aktif mengarang sejak Jepang menduduki
Indonesia. Sajak yang mula-mula dikarangnya (bl. Oktober 1942) ialah nisan
(Soetarno, 1976 :112). Sajak ini ditulis setelah neneknya meninggal dunia,
kedekatan dan keakraban antara Chairil dengan neneknya membuat duka yang begitu
dalam, sehingga Chairil pun melukisakan kedukaannya itu dengan sajak Nisan.
Sajak Chairil yang pertama kali dapat diterima oleh
Pusat Kebudayaan adalah Diponegoro yang sebenarnya melukisakan tantangan Chairil
terhadap jepang. Sajak ini dimuat dalam harian Asia Raya. Diterima
Jepang karena dianggapnya Chairil pro Jepang. Sebab sajak itu dianggap sebagai
pemujaan kepada pahlawan Diponegoro yang anti Belanda (Soetarno, 1976 :112).
Walaupun karya Chairil banyak dipublikasikan, tetapi pada tahun 1943 sajaknya pernah ditolak oleh redaktur Panji Pustaka
yang merupakan salah seorang wakil suara pemerintah Jepang dengan alasan
sajaknya individualistis dan kebarat-baratan.
Disadari
atau tidak, sajak Chairil yang lebih dikenal di masyarakat ialah sajak berjudul
“Aku”, sajak ini merupakan salah satu faktor yang membuat Chairil terkenang
hingga sekarang. Walaupun sebenarnya masih banyak lagi sajak yang indah dan
cukup populer. Selanjutnya ia menjadi lebih populer setelah sajak-sajaknya
ditafsir oleh H.B. Jassin (Soetarno,
1976 :112) dan dijuluki H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan 45.
Sajak-sajak Chairil Anwar yang telah dibukukan adalah Deru
Campur Debu (kumpulan sajak, Pembangunan, 1949), Kerikil Tajam dan Yang
Terempas dan Yang Putus (Pustaka Rakyat, 1949) yang terdiri dari dua bagian
yaitu Krikil Tajam, terdiri dari 32 sajak dan Yang Terempas dan Yang
Putus, terdiri dari 11 sajak. Pada tahun 1950 Balai Pustaka menerbitkan
kumpulan sajak Tiga Menguak Takdir karangan Chairil Anwar, Asrul Sani,
dan Rivai Apin.
Ternyata, karya-karya Chairil tidak hanya ‘jago
kandang’ saja. Banyak karya Chairil yang menarik minat orang Barat untuk
menerjemahkan sajak-sajaknya. Diungkapkan oleh A. Teeuw, Dolf Verspoor paling
dulu menerjemahkan sejumlah sajak Chairil ke dalam bahasa Belanda. Kemudian, Donna M. Dickinson mencoba
menerjemahkan karya Chairil ke dalam bahasa Inggris yang bertajuk “Sharp gravel, Indonesian poems”, (Berkeley, California, 1960), meskipun
baik tujuannya, merupakan suatu kegagalan karena pengetahuannya yang sangat
terbatas tentang pokok itu dan tentang bahasanya (Teeuw, 1980:201). Burton
Raffel dan Nurdin Salam menerjemahkan sajak-sajak Chairil dengan tajuk Chairil Anwar: Selected Poems (New York, New Directions, 1963) dengan sebuah
esai kata pengantar yang baik dan mendalam oleh James Holmes. Dalam bahasa
Prancis, sekitar 15 sajak Chairil Anwar diterbitkan oleh L.C. Damais.
Chairil Anwar meninggal dunia dalam usia yang masih
muda yaitu 27 tahun. Chairil meninggal pada 28 Aprill 1949 karena sakit,
dimakamkan di Karet, Jakarta. karya yang Beliau tinggalkan saat meninggal
menurut Jassin sejumlah tujuh puluh buah sajak, dan kepada jumlah itu harus
ditambahkan terjemahan, saduran dan nukilan karangan prosa, yang tidak sampai
Sembilan puluh empat semuanya (Teeuw, 1980:203)
Estetika
resepsi karya Chairil oleh kritikus sastra Indonesia
Eksistensi
karya-karya Chairil Anwar hingga saat ini, membuktikan karyanya yang bernilai. Hal
ini tidak lepas dari estetika resepsi pembaca sajak-sajak Chairil Anwar.
Estetika resepsi merupakan ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan
pembaca terhadap karya sastra atau ilmu keindahan yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan pembaca (Pradopo, 1995:218). Estetika resepsi terhadap sajak-sajak Chairil diperlukan
karena salah satu faktor yang membuat keberadaan karya-karya Chairil terasa
hingga sekarang.
Selama ini,
kritikus sastra Indonesia banyak yang memberi tanggapan terhadap sajak-sajak
karya Chairil Anwar, baik itu tanggapan positif atau negatif. Banyak juga esai
atau buku yang membahas tentang Chairil dengan karya-karyanya. Majalah Basis
pada September 1965 membahas karya-karya Chairil Anwar, Jassin pun banyak
memberikan tanggapan kepada karya-karya Chairil melalui buku yang ditulisnya.
Bahkan juga, Chairil Anwar tidak terpisahkan dari H.B. Jassin atau sebaliknya
H.B. Jassin tidak terpisahkan Chairil Anwar (Pradopo, 1995:222). Sebuah lagi
buku kecil yang amat berguna ialah Bara Api Kesusastraan Indonesia yang khusus
membicarakan Chairil Anwar dan diterbitkan di Yogya pada tahun 1953 (Teeuw,
1980:199).
H.B. Jassin
memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak Chairil Anwar. Ia
mempergunakan kriteria estetik dalam penilainnya, yaitu menilai struktur
estetik yang berupa penghargaan terhadap gaya ekspresi, kebaruan, dan pikiran
dan pandangan yang terkandung dalam sajak-sajak Chairil Anwar. Sajak-sajak
Chairil Anwar merupakan inovasi terhadap sajak-sajak sebelumnya. Dalam
Kriteria ekstra estetiknya, Jassin meunjukan bahwa
sajak-sajak Chairil Anwar memuat pikiran-pikiran baru: individulitas, rasa
kebangsaan, dan tendensi pembaruan, menunjukan keadaan masyarakat yang jelek
(tradisional dan penuh kemiskinan) untuk perbaikan, misalnya tampak dalam sajak
“Sebuah Kamar”, menunjukan rasa kebangsaan dan kebanggaan nasional,
misalnya sajak “Cerita buat Dien
Tamaela” (Pradopo, 1995:225). Menurut Jassin individualitas dalam sajak-sajak
Chairil merupakan pemberontakan terhadap kekuasaan satu negara yang tidak
membiarkan kebebasan berpikir pun dalam seni dan budaya.
Berbeda
dengan H.B. Jassin yang memberikan tanggapan positif terhadap karya Chairil.
Redaktur majalah Panji Pustaka memberikan tanggapan negatif terhadap
karya Chairil karena berdasarkan kriteria penilaian pragmatik bersifat
politis-propagandis, menyatakan sajak-sajak Chairil Anwar, individualistis,
kebarat-baratan, tidak sesuai dengan adat ketimuran, tidak mempergunakan
kiasan-kiasan berdasarkan kebiasaan sastra Indonesia lama (Pradopo, 1995:225 ).
Selain H.B.
Jassin dan redaktur Panji Pustaka, Klara Akustia salah seorang tokoh
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpaham komunis ikut memberi tanggapan
terhadap karya Chairil Anwar. Dikemukakannya bahwa Chairil Anwar membawa corak
baru dalam kesusastraan terbatas pada bentuk atau vormnya. Selanjutnya Klara
Akustia menyinggung individualisme dan anarkisme karya Chairil Anwar di dalam
kesusastraan Indonesia. Inilah segi yang tidak sehat dari Chairil Anwar menurut
Klara Akustia. Kemudian disimpulkan bahwa Chairil Anwar dapat diterima dan
diakui dalam bentuk sastra barunya, tetapi ditolaknya pandangan hidup Chairil
Anwar. Tentu saja, individualisme bertentangan dengan komunisme yang dianut
oleh Klara Akustia, yang menghendaki lenyapnya individualisme (Pradopo,
1995:228).
Pada tahun
1977 Sutan Takdir Alisjahbana meresepsi karya Chairil Anwar dalam esainya yang
berjudul “Penilaian Chairil Anwar Kembali”, Chairil Anwar membawa suasana,
gaya, ritme tempo, nafas, kepekatan dan kelincahan yang baru kepada sastra
Indonesia (1977:175). Karena penilaian Takdir Alisjahbana pragmatis, yang
menghendaki karya sastra berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak
Chairil Anwar yang pesimistis dan berisi pemberontakan itu diumpamakan sebagai
rujak asam, pedas, dan asin yag bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi
tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia. Jadi, tampaklah Takdir
Alisjahbana kurang menghargai sajak-sajak Chairil Anwar,, lebih-lebih dalam hal
isi atau ide yang dikemukakannya. Ia terbatas menghargai pada struktur
estetiknya (Pradopo, 1995:230)
Jasa-jasa Chairil
Walaupun
Chairil Anwar meninggal muda, Beliau telah memberikan jasa yang berarti dalam
kesusastraan Indonesia khususnya dalam jenis sastra puisi. Chairil telah membawa
perubahan yang radikal, dan telah merombak konsepsi Pujangga Baru yang
berupa zaman syair dan pantun. Dengan demikian, berakhirlah zaman syair dan
pantun.
Chairil
Anwar telah berjasa membuat persamaan derajat bahasa Indonesia dengan bahasa
internasional, karena sajak-sajaknya banyak di terjemahkan ke dalam berbagai
bahasa yang mendunia seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Perancis.
Dalam
perkembangan bahasa Indonesia, Chairil pun berjasa besar. Karena sajak-sajaknya
telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik, tidak bayak dicampuri dengan
kosakata bahasa melayu Malaysia.
Dari
uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Cahiril Anwar dan karya-karyanya
sangat berpengaruh besar dalam perkembangan sejarah kesusastraan Indonesia
khususnya dalam genre puisi. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya
yang masih terkenang saat ini, bahkan dalam buku panduan bahasa Indonesia untuk
para pelajar, sajak-sajak Chairil Anwar hampir dipastikan ada dalam pembahasan
puisi.
Tanggapan
terhadap karya-karya Chairil Anwar baik yang positif atau yang negatif oleh
para kritikus sastra Indonesia pun turut andil dalam keeksistensian karya Chairil hingga saat ini.
Tetapi, pada dasarnya karya-karya Chairil Anwar merupakan karya yang hebat baik
dari segi bahasa maupun makna yang terkandung dalam sajaknya.
Chairil
Anwar dan Karya-karyanya berpengaruh besar dalam perkembangan sejarah sastra
Indonesia, dan sajak-sajaknya membuktikan sastra Indonesia terkenal dalam
jenjang Internasional.
Daftar Pustaka
Pradopo,
Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Soetarno.
1976. Peristiwa Sastra Indonesia. Widya Duta: Surakarta.
Teeuw,
Andries. 1980. Sastra Baru Indonenesia. Nusa Indah: Flores
http://biografi.rumus.web.id/biografi-chairil-anwar/ diunduh
pada 8 april 2013 jam 21:38